Asuransi dalam pandangan Islam

Oleh: Usman Sholehudin

Allah berfirman dalam Al-quran:

إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا(19)إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا(20)وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا(21)إِلَّا الْمُصَلِّينَ(22)الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ(23)
“Sesungguhnya manusia itu dijadikan (bersifat) loba/kikir. Mengeluh apabila kesusahan menimpa dia. Dan kikir apabila keuntungan kengenai dia. Kecuali orang-orang yang shalat yang kekal dalam shalat mereka” (QS. Al-Ma’arij : 19 – 23)
Kecenderungan manusia untuk menanggung risiko hidupnya, sudah merupakan sunatullah, demikian pula sifat-sifat ananiyahnya. Adapun sifat-sifat ananiyah ini hanya dapat diluruskan dengan iman, bahwa akhirat lebih baik daripada dunia.
Didalam menghadapi risiko itu, Allah swt. memerintahkan ta’awun yang berbentuk al-birri wa taqwa dan melarang ta’awun dalam bentuk al-itsmi wal udwan.
Setiap manusia didalam hartanya ada hak yang maklum, guna menanggulangi setiap risiko yang dihadapi. Adapun didalam penanggulangannya itu Allah swt. telah melarang bentuk-bentuk batil yang disahkan dengan berbagai macam syarat (aturan). Pada zaman Rasulullah pernah terjadi hal-hal sebagai berikut:
“Dari Urwah bahwasannya Aisyah mengabarkan kepadanya, sesungguhnya Barirah datang kepadanya meminta tolong untuk menunaikan “mukatabahnya” karena ia belum bisa melaksanakan mukatabah itu. Aisyah berkata kepadanya, kembalilah kamu kepada ahlimu (majikanmu). Jika mereka setuju, aku akan menunaikan mukatabah itu akan tetapi walamu itu untukku. Kemudian Barirah menerangkan hal itu kepada majikannya. Ternyata mereka menolak dan berkata: Jika Aisyah mau menebus kamu dengan mengharap pahala disisi Allah silahkan ia melakukan. Tetapi walamu itu tetap milik kami. Lalu Aisyah menceritakan hal itu kepada Rasulullah saw. dan Rasulullah menjawab: belilah olehmu dan merdekakanlah dia karena alwala itu bagi yang memerdekakan. Kemudian Rasulullah saw. bangkit dan berkhotbah: mengapa manusia menetapkan syarat-syarat yang tidak ada dalam kita Allah? Syarat itu batil, walaupun ditetapkan seratus kali, syarat Allah itu benar dan kuat” (Ainul Mabad 1 : 438)
Almukatabah ialah perjanjian seorang hamba dengan tuannya bahwa kalau ia membayar sejumlah uang di dalam jangka waktu tertentu ia termerdekakan. Sejak waktu itu hamba tersebut bebas bekerja di luar untuk mencari uang yang dijanjikan (A. Hasan, Tarjamah Bulughul Maram, 1969 : 380)
Qotadah berkata:
“Ketahuilah wahai manusia bahwa putusan kadi bagimu tidak menghalalkan yang haram dan yang batal tidak menjadi benar” (Tafsier at-Thahari, 2 : 184)
Firman Allah swt.:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ(188)

“Dan janganlah kalian makan harta (orang-orang diantara kalian) dengan (jalan) yang batil. Dan (janganlah) kalian bawa (urusan harta) itu kepada hakim-hakim dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain dengan (jalan) dosa, padahal kalian tahu” (QS. Al-Baqarah : 188)
Makan harta dengan cara batil itu diantaranya: mengadakan syarat yang bertentangan dengan hadits shahih. Sebagaimana Rasulullah telah merubah syarat yang diajukan oleh Siti Aisyah untuk mendapatkan wala dari Barirah (sebagaimana hadits di atas). Rasulullah tidak mau membenarkan perpindahan hak milik orang dengan cara sebagai berikut:



“Rasulullah melarang jual beli buah pada tangkainya (untung-untungan, kemplangan) jual beli buah belum nyata matangnya (untung-untungan karena buahnya masih muda), jual beli yang barangnya hanya boleh diraba tak boleh dilihat, lempar-lempar (lemparkan baju tukar dengan bajuku, dengan segala isinya, untung-untungan) danmenukarkan yang kering dengan yang basah (pinjam padi yang basah sepikul, membayarnya dengan padi kering sepikul)” Fathul Bari, V : 391)



“Kalian jangan memberikan ruqba (yaitu memberikan sesuatu dengan syarat bila aku mati lebih dulu mutlak menjadi milikmu dan bila kamu mati lebih dulu barang kembali padaku) dan memberi sesuatu dengan syarat selama hidup (orang) yang diberi” (An-Nasai III : 273)
Almarhum Ustadz Abdurrahman membuat bandingan sebagai berikut, “Bila ada seorang berkata kepada seorang penyelam: turunkan engkau menyelam ke dalam sungai ini! Nanti aku beri engkau seratus rupiah tangkaplah ikan untukku, besar atau kecil tidak apa-apa, kita untung-untungan saja. Atau sebaliknya penyelam itu berkata, “Aku bersedia turun menyelam ke dalam sungai ini untuk menangkap ikan bagimu asal aku diberi uang seratus rupiah. Besar atau kecilnya ikan itu bagaimana nanti. Kita untung-untungan saja”. Contoh ini mengandung unsur-unsur maisir, judi atau gambling, sekalipun syarat atau kesanggupan yang dimintakan disetujui bersama dan sama-sama ridla”.
Adapun jenis-jenis asuransi sebagai berikut:
Asuransi umum (generasl insurance) atau disebut juga asuransi kerugian. Dalam asuransi umum pada pokoknya ada tiga jenis asuransi, yaitu:
a.    Asuransi kerugian, yaitu barang, benda, kekayaan yang terbuka terhadap risiko kerugian yang ditutup asuradur, misalnya asuransi kebakaran, asuransi kendaraan bermotor, contractor all risk insurance, kontruksi, dan lain-lain.
b.    Asuransi tanggung gugat, yaitu merupakan tanggung jawab pihak ketiga. Misalnya, sebuah mobil menabrak sebuah rumah di pinggir jalan sehingga menimbulkan kerugian bagi pemilik rumah tersebut. Jumlah kerugian atas rumah tersebut  dapat ditanggung oleh asuransi. Asuransi tanggung gugat ini hanya dapat ditutup apabila mobil tadi diasuransikan dan menutup asuransi tanggung gugat.
c.    Asuransi kecelakaan diri, (personal accident insurance). Asuransi ini hakikatnya merupakan campuran antara asuransi umum dan asuransi jiwa. Karena dalam asuransi kecelakaan ini sebenarnya bukan pengganti kerugian tetapi bersifat sanrunan, misalnya santunan akibat kecelakaan yang menimbulkan kematian, cacat, ketidak mampuan sementara atau biaya pengobatan sehingga dalam asuransi ini tidak ada batas maksimal, sedangkan asuransi kerugian terbatas dalam jumlah kerugian.
Asuransi jiwa. Banyak sekali produk-produk dalam perusahaan asuransi jiwa yang menawarkan jasanya dengan berbagai nama misalnya Dwiguna, Anekaguna, Triguna, Eksecutif, Beasiswa, Dana Haji, Asuransi Profesional, Asuransi Pensiunan, Asuransi Jiwa, Kredit, dan lain-lain. Pada dasarnya jika dibagi, hanya tiga jenis saja yaitu:
Term insurance (asuransi berjangka). Jenis asuransi jiwa yang paling awal dikeluarkan ialah jenis asuransi berjangka (term). Dibawah perjanjian asuransi ini, akan dibayarkan sejumlah uang asuransi (santunan), apabila tertanggung (yang dipertanggungkan jiwanya) meninggal dunia dalam waktu tertentu. Dalam polis asuransi ini tidak terdapat akumulasi pemupukan uang yang akan diterima oleh tertanggung atau pemegang polis pada saat asuransi berakhir. Jadi, asuransi ini hanya memberi perlindungan/proteksi saja. Umumnya jangka waktu asuransi ini 1, 2, 3, 4, 5 tahun dan seterusnya atau sampai dengan umur tertanggung mencapai umur 65 tahun. Contoh dalam term insurance ini misalnya: Asuransi Eka Warsa, Asuransi Eka Waktu, Asuransi Kredir, dll.
 Whole life insurance (asuransi seumur hidup). Jenis asuransi ini juga merupakan perlindungan terhadap keluarga tertannggung. Jangka waktunya tertentu sebagaimana term insurance, tapi apabila si tertanggung masih hidup pada umur tertentu misalnya pada umur 65 tahun maka kepadanya akan dibayarkan sejumlah uang asuransi tersebut. Dalam asuransi ini terdapat pemupukan dana. Contohnya dalam Whole life insurance, Asuransi seumur hidup, asuransi pensiun, dll.
Endoument insurance (asuransi Dwiguna). Jenis asuransi ini mempunyai unsur perlindungan dan pemupukan dana jangka waktu tertentunya misalnya: 5, 10, 15, 20, 25, 30 tahun atau tertanggung sampai umur 50, 55, 60 tahun. Yaitu jika tertanggung meninggal dunia dalam masa asuransi kepada keluarga atau ahli warits yang ditunjuk akan diterimakan sejumlah uang pertanggungan. Dan jika si tertanggung masih hidup ketika asuransi berakhir maka kepadanya akan dibayarkan sejumlah uang pertanggungan. Dari ketiga asuransi jiwa inilah kemudian dimodifikasi sehingga timbul berbagai macam produk dan faidah dan dengan berbagai macam sebutan pula.
Setelah melihat jenis-jenis asuransi di atas, dapat disimpulkan asuransi adalah “pertanggungan” yang terjadi atas dasar persetujuan (syarat) antara pihak penanggung dan pihak tertanggung. Penanggung mengganti kerugian berdasarkan jumlah uang (premi) yang diberikan setiap bulan atau setahun sekali oleh pihak tertanggung, bila si tertanggung menderita kerugian (risiko) disebabkan kerusakan atau kecelakaan atau tidak diperolehnya suatu keuntungan yang diharapkan yang mungkin terjadi sebagaimana tertulis dalam persetujuan (polis) yang ditanda tangani bersama.
Pertanggungan itu adalah perjanjian sebelah menyebelah (dua pihak) yang ditanggung wajib membayar premi dan yang menanggung wajib memberikan pembayaran kembali, jika peristiwa yang tidak tentu (mungkin) terjadi itu suatu saat terjadi betul-betul
Melihat tata cara seperti itu, tampak terdapat unsur spekulasi atau untung-untungan bertaruh atas sesuatu yang belum tentu, atau menebak sesuatu yang belum pasti terjadi. Pertanggungan seperti itu senapas dengan Al-Umra dan Munabazah sebagai yang telah diterangkan di atas, yakni terlarang atau haram hukumnya.

(Tulisan ini diilhami sari Risalah Kecil : No. 99/1971 M/1391 H, Istifta No. 339)


Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih