Jual beli valas dalam pandangan islam

 Oleh : M. Abdurrahman


Muqaddimah
Manusia sebagai homo economicus niscaya tak akan dapat melepaskan dirinya dari percaturan ekonomi, baik dalam skala nasional maupun internasional. Percaturan ekonomi tersebut akan lancar bila digunakan sistem tukar menukar yang seimbang, seperti dengan menggunakan uang atau barter, sehingga memudahkan setiap transaksi yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi. Dalam tata hubungan internasional, baik yang berkaitan dengan bisnis maupun perjalanan internasional (al safar al daulity) biasa, tukar menukar uang merupakan kebutuhan dan karena itu jual beli valas merupakan penomena yang tak dapat dihindari, sehingga menarik untuk dikaji ketentuan hukumnya menurut Islam.
Namun demikian, jual beli valas saat ini bukan hanya keperluan bisnis dan pembayaran transaksi internasional, akan tetapi sudah menjadi bisnis biasa, walaupun orang-orang itu tak akan pergi ke luar negeri, baik karena diperlukan untuk membayar mitra bisnisnya di luar negeri manapun untuk menyimpannya. Sekarang seseorang dengan mudah membeli atau menjual mata uang asing yang dianggapnya memiliki nilai tukar yang kuat dan mampu bertahan sampai orang tersebut dapat menukarnya kembali ketika diperlukannya. Dengan cara seperti ini akan menghilangkan investasi dalam ekonomi real, seperti investasi (istitsmar) pada perusahaan-perusahaan yang bernilai ekonomi, baik dengan membeli saham secara langsung atau melalui pasar modal atau pasar saham yang dilakukan oleh pialang atau broker (sismar) di pasar bursa saham.
Dalam pada itu, mata uang asing ini lebih-lebih di negara-negara yang ekonominya bergantung kepada luar negeri melalui pinjaman amat diperlukan keberadaannya. Penomena inilah yang melanda dunia Islam sekarang ini. Hal ini terjadi karena dunia Islam sekarang ini mengandalkan keperluan hidupnya dari beban-beban utang yang harus ditanggungnya melalui pembayaran yang jatuh tempo yang adakalanya cukup lama yang diakibatkan oleh tak produktifnya dan tak proaktifnya masyarakat Islam menghadapi tata ekonomi dunia yang demikian cepatnya.
Pada dasarnya keberadaan mata uang asing di dunia Islam adalah ibahah sebagai alat tukar karena jaman Nabi mata uang asing, seperti dirham dan dinar digunakan sebagai alat transaksi utama oleh masyarakat pada waktu itu. Dengan adanya alat tukar ini, maka segala bentuk transaksi menggunakan uang akan lebih mudah dan transfaran, sehingga prinsip-prinsip syariat Islam dapat diplementasikan dalam kehidupan ekonomi. Dengan keberadaan alat tukar ini pola barter dalam ekonomi dapat dihindari karena kurang transparan dan mengandung unsur riba. Untuk itulah Rasul melarang riba fadla, sebagaimana beliau nyatakan dalam sabda-sabdanya.
Atas dasar ini Dewan Hisbah amat relevan mendiskusikan perdagangan valas dilihat dari syariat yang sudah lama ditinggalkan umat. Umat Islam sendiri makin tak berdaya menghadapi kenyataan ini, sehingga amat sulit untuk menghindari perdagangan valas ini. Problem umat saat ini adalah problem implementasi hukum, baik hukum publik maupun hukum yang berkaitan dengan ekonomi, padahal keduanya harus dijalankan dan tak terpisahkan dalam sistem hidup muslim.
Pertanyaan sekarang ialah apa asas-asas dan prinsip ekonomi Islam, dan bagaimana pula kedudukan jual beli valas tersebut dilihat dari syariat kedua permasalahan ini, walaupun tak dibahas secara tuntas, tetapi mudah-mudahan merupakan wacana baru dalam telaah kita saat ini, dan pada waktu mendatang agar implementatif dan menjadi agenda untuk lebih banyak di diskusikan di lingkungan Dewan Hisbah.

Sistem Ekonomi Islam
Tata ekonomi dunia (world economic order) sekarang ini dikuasai oleh ekonomi kapitalis dan ekonomi sosialis dengan berbagai macam rona dan durinya yang justru kita sendiri pun terseret arus dengan sistem ini, sebagai akibat ketidak mampuan kita menampilkan sistem Islam di tengah-tengah hiruk pikuknya persaingan ekonomi yang makin ganas. Di sisi lain sistem ekonomi kapitalis lebih berkuasa daripada ekonomi sosialis ataupun komunis yang secara politik pernah berjaya pada dekade yang lalu. Kedua sistem ekonomi tersebut sudah barang tentu dilandasi oleh paradigma yang berbeda, yaitu yang satu individualisme ekstrim dan yang lainnya sistem sosialisme ekstrim yang kedua-duanya tak menguntungkan dunia Islam dan melanggar syariat walaupun ada kebaikannya (Afzalur Rahman, 1995, I : 3 – 8), tetapi keburukannya justru lebih dahsyat dari kebaikannya, sementara ekonomi Islam, walaupun jatuh dari keburukan diilustrasikan ada pada kedua sistem ekonomi tersebut merayap-rayap di belakang, sembari ditinggalkan oleh penganutnya. Makanya seorang ekonom Inggris Anthony Giddens dengan dalam karyanya The Third Way.
Tata ekonomi dunia sekarang yang semakin kompleks ternyata makin memojokkan umat dan dunia Islam, ini terbukti dengan terbentuknya berbagai macam kesepakatan-kesepakatan internasional, seperti WTO, AFTA, NAFTA, dll, yang kesemuanya banyak memarginalkan ekonomi umat Islam. Di sisi lain kompleksitas perdagangan internasional ini makin banyak memunculkan spekulan uang internasional yang bernilai tukar relatif stabil dan tinggi yang dilakukan oleh sistem ekonomi kapitalistik dan konglomerasi yang individualistik dengan dalih untuk membayar utang luar negeri. Adanya perjalanan luar negeri yang tak bermakna ekonomi dan moral pun merupakan sisi lain dari penghamburan devisa yang dicari dengan susah payah.
Ekonomi Islam ialah ekonomi yang dibangun atas dasar tauhid, keseimbangan (adl qisth) kehendak bebas, dan pertanggung jawaban. Pada keempat komponen dasar inilah dibangun sistem ekonomi Islam, sehingga perjalanan ekonomi Islam bukan atas dasar keserakahan individu atau ekstrimitas kepemilikan bersama karena hal seperti itu tak sesuai dengan fitrah manusia yang memiliki hak-hak individu dan kewajiban sosialnya dalam masyarakat yang harus dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Keempat komponen dasar ini meminjam istilah, Syed Nawab Haider Naqwi, sebagai “Aksioma Etika Ekonomi Islam”.
Bila berbicara ekonomi, tentu saja bukan hanya masalah jual beli, pertanian, dan sebangsanya yang berkaitan dengan kepentingan hidup manusia secara langsung, akan tetapi meliputi peraturan serta sistem moneter dan perbankannya yang berjalan di suatu negara karena ekonomi bukan hanya berfikir untuk sehari atau dua hari, tetapi untuk bekal pada tahun-tahun mendatang yang tentu saja memerlukan pendanaan dan perencanaan. Untuk itu, maka walaupun di sisi sistem ekonomi Islam itu tak akan diterangkan, akan tetapi itu setidaknya sistem pendanaan dan permodalan menjadi perhatian. Dalam Islam jelas yang dinamakan batil itu bukan hanya dilihat dari sudut jenis yang barang, tetapi meliputi proses yang berupa transaksi-transaksi dan investasinya.
Aksioma etika ekonomi Islam, sebagaimana diusulkan oleh Haidar al Naqwi (1985 : 74 – 78) kita pandang sebagai asas yang bila diringkaskan sebagai berikut:
Asas pertama dalam ekonomi Islam ialah asas tauhid. Tauhid harus menjadi titik tolak ekonomi Islam. Maka dari asas tauhid inilah Islam memandang hal-hal sebagai berikut:
Uang atau harta benda dan segala yang ada di alam ini adalah milik Allah (Q.S.Al Baqarah: 107, Q.S.Ali Imron: 189, Q.S.Al Maidah: 17 dan Q.S.Al Furqan: 2)
Uang atau harta benda ialah nikmat yang harus disyukuri, dimanfaatkan dengan benar, dan dipakai ibadah agar menjadi bekal di akhirat kelak (Q.S.As Sajdah: 9, Q.S.Al Dzariyat: 56, dan Q.S.Ali Imron: 14)
Asas kedua adalah keadilan. Dari asas ini, maka uang atau harta harus berfungsi sebagai berikut:
Uang atau harta benda harus berfungsi sosial dan alat perjuangan (Q.S.Al Baqarah: 3, Q.S.An Nur: 33, Q.S. Al Bara’ah (At Taubah): 41, dan Q.S.Saba: 37)
Uang atau harta benda harus memberi kesan baik dan indah bagi manusia dalam mengendalikan hidupnya (Q.S.Al ‘Araf : 31, Q.S.Bani Israil : 29)
Uang atau harta benda harus menjadi alat penggerakan kerjasama, ukhuwah, capital gain di dunia yang dapat dimanfaatkan oleh setiap pelaku ekonomi (Q.S.Al Kahfi: 46, Q.S.Al Baraah: 34 dan 41, Q.S.Al MA’arij: 24 – 24)
Asas ketiga, yaitu kebebasan. Manusia relatif bebas menggunakan potensi dirinya dalam memilih sesuatu. Dikatakan relatif karena manusia dibatasi oleh aturan-aturan yang baku baik syar’iy maupun wad’iy. Dari kebebasan manusia ini Islam memandang manusia sebagai berikut:
Manusia sebagai khalifah di bumi (Q.S.Al Baqarah : 30)
Manusia diberi jalan oleh Allah dan manusia diberi kebebasan memilihnya (Q.S.Al Ahzab : 72, Q.S.As Syams: 8 – 10)
Asas keempat ialah pertanggung jawaban. Dari asas ini, maka yang dilakukan manusia adalah sebagai berikut:
Segala perbuatan manusia ada perhitungannya (Q.S.An Nisa: 85, Q.S.Al Mudatsir: 38)
Setiap jiwa bertanggung jawab atas dirinya sendiri (Q.S.Yunus: 10, Q.S.Al An’am ; 164)
Manusia tak dapat meloloskan diri dari hukuman Allah swt. (Q.S.An Nisa : 97)
Kesuraman masa lampau tak boleh diulang untuk legitimasi kejahatan sekarang (Q.S.Lukman: 21, Q.S. Al Baqarah: 134, Q.S. Ar Ra’d: 11)

Aksioma etika ekonomi Islam atau asas ini tak menjadi titik tolak secara holistik di dunia Islam sekarang, lebih-lebih ketika konsep dan sistem ekonomi Islam tak menjadi bagian dari sistem kehidupan muslim secara konprehensif dan holistik. Jadi, sebenarnya yang tak ingin diplementasikan oleh masyarakat Islam, bukan hanya hukum publik yang berkaitan dengan pidana, akan tetapi juga dalam hukum khusus, seperti kegiatan muamalat ini
Dari sini kita ingat sabda Nabi Muhammad saw. yang diterima dari Abu Umamah dan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban sebagai berikut: “Sungguh akan lepas ikatan-ikatan (sistem) Islam itu sedikit-sedikit. Setiap sub sistem itu lepas, maka akan beriringan dengan sub sistem berikutnya. Yang pertama lepas adalah sistem hukum dan yang terakhir adalah shalat”.

Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Sebelum sampai kepada jual beli valas dilihat dari syariat Islam, maka disini akan dibahas terlebih dahulu mengenai prinsip-prinsip ekonomi Islam, sehingga dapat dilihat dari sisi mana boleh dan tidak bolehnya jual beli valas itu.
Prinsip-prinsip ekonomi Islam amat jelas sekali diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya, antara lain:
Prinsip kebersihan harta
Yang dimaksud prinsip ini ialah bahwa ekonomi Islam harus halal, melalui proses halal (sifatnya halal), jauh dari sifat ribawi, transparan (tidak ghass), rela merelakan (‘an taradin) dan tidak ihtikar (penimbunan), tidak ada gharar (penipuan), dan spekulasi (maisir).
Prinsip Kesederhanaan (tidak israf dan tabzir)
Prinsip ini berkaitan dengan kebabasan manusia dan tanggung jawab sosialnya. Harta yang dimiliki seseorang tak serta merta dapat digunakan semuanya dengan tidak memperhatikan lingkungan dan manfaatnya secara baik. Manusia dilarang israf (melebihi batas) dan tabzir (menyia-nyiakan) yang sebenarnya tak perlu dilakukan sama sekali. Secara sosial hal ini akan membangkitkan bughdl dan hasd (iri dengki) di kalangan masyarakat atau yang sering disebut kecemburuan sosial.
Prinsip kemurahan hari dan moralitas
Manusia beriman memiliki tanggung jawab sosial yang amat besar. Tanggung jawab harus didasarkan kasih sayang terhadap yang lain, sehingga apapun yang diperbantukan kepada yang lain tidak semata-mata bernilai ekonomi, seperti pinjaman dan gadaian, akan tetapi ta’awun (kemitraan dan saling membantu) antara sesama. Karena itu, bukan hanya infaq wajib dan zakat yang harus dikeluarkan dari seorang muslim, tetapi juga sadaqah, jariyah, dan lain-lain harus pula diperhatikan. Dalam hal bantuan yang bernilai ekonomi pun harus disertai dengan kasih sayang dan landasan moral yang tinggi karena tak setiap orang yang berutang mampu membayar sekaligus atau seketika sesuai dengan pinjaman semula, sehingga memerlukan penangguhan beberapa waktu.
Dengan demikian, maka ekonomi Islam sebenarnya amat manusiawi dan alami, walaupun tak menolak sama sekali segala produk teknologi yang meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Dengan ini pula maka produktif, efektif, dan efisien merupakan kekhasan dari ekonomi Islam. Sekarang ketiga hal tersebut sedang digalakan di dunia. Untuk meningkatkan produksi diupayakan adanya bio-teknologi agar kebutuhan hidup manusia, terutama makanan dan minuman diperoleh dari daerah sempit dengan tingkat produktivitas tinggi. Dari sini juga akan efisien dalam menggunakan lahan pertanian. Segala tindakan yang tidak efisien, secara moral, akan mendapat kecaman dunia internasional, khususnya para pemerhati lingkungan.

Jual beli Valas dari sudut pandang Islam
Di atas disebutkan bahwa pelaku ekonomi tak dapat memisahkan dirinya dari pendanaan dan biaya investasi serta hubungan-hubungan internasional yang secara logis harus menggunakan pula pranata internasional, yaitu berupa pertukaran uang yang relatif nilainya diakui stabil secara internasional. Di Indonesia mata uang yang dianggap relatif stabil tentu saja yang dimiliki oleh negara yang struktur ekonominya juga stabil dan kuat, seperti Amerika dengan dolarnya, Inggris dengan foundsterlingnya, dan belanda dengan guldennya, dll. Di Asia negara yang stabil nilai tukarnya ialah Ringgit Malaysia dan Brunei, dan dolar Singapura.
Secara historis jual beli atau transaksi-transaksi internasional yang terjadi sejak zaman silam dan sekarang menggambarkan bahwa socio-economi terus berkembang sesuai dengan kondisi-kondisi politik dan ekonomi yang berkembang, namun demikian di kalangan masyarakat Islam asas dan prinsipnya tidak boleh lepas dari yang ditetapkan Allah dan rasul-Nya, walaupun transaksi meluas.
Pada masa Nabi pun sudah berkembang mata uang yang digunakan, yaitu mata uang asing, berupa dirhan dan dinar. Kedua mata uang tersebut bukan hanya merupakan alat tukar secara internasional waktu itu, tetapi juga sebagai mata uang yang sah di dalam negeri karena mata uang tersebut sebagai mata uang sah. Karena itu, beliau menentukan ketentuan-ketentuan dalam transaksi dan juga ketentuan zakat atau ukuran nilai suatu barang. Sebagaimana disunggung diatas beliau tidak berkenan untuk melakukan barter korma yang mulus dan yang jelek. Beliau memerintahkan supaya dijual saja korma yang jelek itu dan dibeli baik. Secara ekonomi cara ini untuk menghidupkan pasar dan transaksi lebih transparan, sehingga konsep “an taradin” betul-betul dapat dijalankan secara baik.
Pada zaman Nabi jual beli uang belum terjadi karena situasi ekonomi waktu itu belum begitu komplek seperti sekarang. Persaingan mata uang pun agaknya belum ada. Memang mungkin terjadi, eksportir dan importir waktu itu melakukan barter, khususnya bagi barang-barang yang pada kedua negara itu dibutuhkan. Namun, sabda Nabi yang berkaitan dengan tidak bolehnya barter korma, menunjukkan bahwa sudah ada landasan hukum untuk larangan barter ini, sehingga shahabat tak melakukannya. Karena itu, istilah riba fadlal, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits dilarang itu.
Riba fadlal menurut hemat saya adalah barter. Jual beli valas atau valuta asing dengan mata uang yang diinginkan si pembeli yang bila dilihat, menurut hemat saya, secara sepintas termasuk barter yang dilarang oleh Nabi karena sama-sama uang, lebih-lebih jika diperhatikan sekarang jual beli valas lebih banyak mencari keuntungan yang tingkat spekulasinya amat tinggi sekali karena mengandalkan fluktuasi harga saham dan politik belaka, sementara sektor real, seperti untuk pengembangan industri tak terbiayai. Spekulasi ini berbau maisir yang dilarang oleh agama. Hal ini hampir sama dengan jual beli saham di pasar modal yang tingkat spekulasinya amat tinggi, bahkan lebih tinggi spekulasinya dari jual beli valas yang justru memandang unsur maisir. Hanya saja pada akhirnya terletak pada pengelolaan pasar modal dan jual beli valas ini serta perundangan yang berlaku. Bila demikian adanya, maka dilihat dari sisi syar’i jelas kecenderungan terlarangnya jual beli vala. Lebih-lebih, jual beli valas saat ini sudah sedemikian jauh karena sudah dijadikan komoditi perdagangan, sebagaimana barang dagangan lain. Akan tetapi, pembatasan yang berlebihan pun tak menguntungkan ekonomi karena beberapa al-suq al-aswad makin menyemarakan spekulasi yang lebih tak terkendali.
Memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam memahami riba fadl ini. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang bahwa riba ini termasuk makruh dan larangan itu sebagai sabdud dari’ah saja karena bila dibiarkan akan merusak tata ekonomi, seperti halnya jual beli valas. Agaknya ini yang dapat kita ambil dari kesimpulan A. Hasan (1995 : 412 – 422) ketika beliau memahamkan riba fadl dengan cara takwil.
Dilihat dari segi perkembangan ekonomi riil, jual beli valas tak mampu membiayai sektor riil dan mengganggu ekonomi nasional. Terjadinya situasi politik tertentu atau karena tak diangkatnya pigur tertentu sebagai pejabat tertentu, maka nilai valas pun akan berubah dan digunakan oleh orang yang bertanggug jawab untuk memborong mata uang asing tertentu demi kepentingan politiknya, sehingga pasar akan negatif dan transaksi-transaksi internasional akan terhambat.
Jadi, dilihat dari segi epistemologis dan aksiologisnya jual beli valas secara bebas akan amat mengganggu terhadap pertumbuhan ekonomi riil, tetapi bukan sama sekali tidak boleh. Orang lebih senang di belakang meja money changer, ketimbang sibuk di pabrik mengembangkan usahanya dan membangun infra struktur ekonomi pasar.
Oleh karena itu, agaknya dapat saja PERSIS mengusulkan Bayan agar jual beli valas itu diatur dengan undang-undang yang lebih mampu mengamankan ekonomi nasional dan tidak disalahgunakan oleh spekulan. Namun demikian kekuatan ekonomi makro dan mikro akan amat mendukung terhadap kelancaran ekonomi keseluruhan.

Khatimah
Jual beli valas secara yang merupakan struktur ekonomi masa kini tak sesuai dengan tata cara ekonomi Islam sebagaimana yang dikehendaki oleh Rasulullah saw. jual beli semacam ini penuh dengan spekulasi yang akan amat merugikan kepada ekonomi pasar yang riil. Jual beli valas perlu dilengkapi dengan undang-undang yang lebih menguntungkan ekonomi nasional dan umat Islam.
Asas-asas dan prinsip-prinsip ekonomi Islam yang diajarkan Rasul, amat manusiawi, alamiah, dan rasional serta sesuai dengan tuntunan masa kini yang memelihara amanah, keadilan, persamaan, tolong menolong, dan ukhuwah. Ekonomi kapitalis yang individualistis hanya akan menguntungkan kelompok orang kaya belaka, sebagaimana terlihat pada pasar bebas yang gilirannya memarginalkan negara-negara miskin. Sementara ekonomi sosialis tak sukses dalam membangun kemandirian untuk maju terhadap masyarakat.
Sekarang giliran umat Islam tampil dalam partisipasinya membangun paradigma baru ekonomi yang bukan kapitalis, bukan sosialis dan bukan pula third ways, third ways, tetapi Ekonomi Islam, yaitu model The Islamic Way
Wallahu ‘alam bisshawab


DAFTAR PUSTAKA
Al Qur`an al-Karim
Al-Asqalani, Ibn Hajar, Bulughul Maram
Giddens, Anthany, The Third Ways (terjemahan Ketut Arya Mahardika, Gramedia, Jakarta: 2000)
Naqwi, Nawab Haidar, Etika Ekonomi Islam
Rahman, Afzal, Doktrin Ekonomi Islam (terjemahan oleh Surayo, Nastngin) Dana Bakti Wakaf, Yogtakarta : 1995.


Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih